KISAHKU BERSAMA CARLITA DWI HANDAYANI
Ssss,…jangan gadu! Terdengar lembut suara dari balik tirai jendela. Aku hanya diam dan duduk sambil memikirkan lembut suaranya yang barusan ku dengar. Rasa penasaran bergelayut di dalam jiwa dan ingin segera mencari tahu suara siapakah gerangan. Ternyata suara itu adalah suara Carlita Dwi Handayani. Aku seperti tidak memahami maksud apa suara larangan itu terlontar dari bibir seorang perempuan yang aku cintai. Carlita seorang perempuan muda yang memiliki segudang cita-cita dan cinta. Kata-katanya yang lembut tetapi tegas riuh mengalir bagai gerimis, itulah yang menjadi ciri khasnya. Ia melarang seorang bocah kecil yang berteriak-teriak sambil bermain di depan serambi rumahnya. Carlita sendiri sedang membaca novel karya Kahlil Gibran “Sayap-sayap Patah” atau yang biasa ia sebut “Broken Wings” dan novel itulah yang menjadi bacaan kegemarannya. Ia membaca sambil meresapi kata-katanya yang puitis dan sekali-sekali ia menerawangkan pandangan matanya ke arah yang jauh seolah-olah ia sedang mengimpikan aku kekasihnya seperti yang diceritakan dalam isi novel itu.
Carlita memang seorang yang memiliki segalanya. Kecantikannya mengantarkan dirinya menjadi seorang perempuan yang didambakan oleh setiap pemuda termasuk aku. Akulah yang mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya. Awalnya aku seperti tidak percaya ungkapan perasaan cinta itu diterima oleh Carlita. Dalam hatiku aku berpikir apakah gadis secantik ini bisa menerima cinta yang dilontarkan oleh laki-laki kribo asal Flores yang penuh dengan teka-teki ini? Namun pikiranku ternyata keliru. Carlita bukanlah tipe perempuan yang suka memilih milih, ia dengan rendah hati memahami arti dibalik pengorbananku untuk menyatakan cintaku kepadanya.
Carlita menunjukkan eksistensi dirinya sebagai seorang perempuan berwajah oriental; kelembutan hati, dan keramahan sikapnyalah yang mau menerima aku dengan apa adanya. Carlita memang seorang yang penuh fenomenal. Keputusannya untuk kuliah sambil bekerja apa lagi bolak balik Tangerang-Lampung yang hampir setiap minggu terus ia jalani. Ia begitu energik dan anggun. Ia juga sangat sibuk dan setiap hari nyaris tidak mempunyai waktu untuk beristirahat. Ia terus berjuang menerjang gelombang kehidupan. Aku sangat bangga dengan sikap dan daya juangnya. Aku bekerja di Tangerang sambil kuliah ada rasa capai dan lelah karena setiap waktu menikmati suguhan kemacetan dan akhirnya aku harus berhenti bekerja dan kuliah dan memilih kembali ke Jogja kota seribu satu kenangan antar aku dan Carlita. Rasa lelah dan capai bukan karena kuliah dan bekerja tetapi suguhan kemacetanlah yang membuatku merasa jenu tinggal di Tangerang. Aku pun berpamitan dengan Carlita untuk kembali ke Jogja kampung halaman Carlita. Tapi anehnya Carlita justru tidak menjawab sepatah kata pun ketika ku sampaikan niatku. Ia diam seribu bahasa. Walaupun aku menyadari bahwa kata-kata bukanlah sarana satu-satunya sebagai alat komunikasi tetapi tersirat di wajah Carlita ungkapan kekecewaannya kepadaku atas keputusan yang sudah bulat ku pikirkan ini. Carlita tetaplah Carlita. Ia diam dan sambil menundukkan wajahnya dan air matanya pun berderai sepertinya ia tidak rela untuk melepaskan aku berjauhan dengan dirinya. Alasan yang aku kemukakan seperti terbentur di jalanan yang penuh dengan bebatuan, aku pun merasa iba dan ku yakinkan Carlita dengan bisikkan suara penuh makna ”sayang… aku pergi untuk kembali”. Di sana aku akan selalu menemui ayah dan ibumu seminggu sekali sebagai ikrar jaminan lestari hubungan cinta kita. Lalu kuambilkan sapu tanganku kuusapi wajahnya yang berlinangan air mata. Kami sama-sama diam. Yang satu berpikir takut kehilangan seorang yang dicintai karena hanya itulah satu-satunya sandaran hidup yang selalu mengisi sepi dan pemberi semangat dan yang lain justru berpikir soal ambisi meraih cita, mengejar angan, dan menggapai impian. Dua manusia yang ada dalam diam. Dua manusia, Carlita dan Maxi, yang saling mencintai ingin segera bersatu tetapi cita-cita belum tuntas untuk diraih. Aku pun tepatnya tanggal enam September 2010, kembali mendarat di Jogja. Dan untuk memenuhi janjiku pada Carlita setiap minggu aku berkunjung ke rumah kedua orangtuanya di Pakem. Aku memang seorang laki-laki yang penuh percaya diri. Aku datang ke rumah orangtuanya sebagai ungkapan rasa tanggungjawabku kepada Carlita dan sekaligus memberikan keyakinan pada Carlita bahwa kita memang saling cinta tetapi semuanya kita kembalikan pada Dia sang Khalik. Kita boleh saling mencintai tetapi Dialah yang pada akhirnya menentukan.
Seorang laki-laki sepertiku tak akan mengkianati suara hatinya sendiri dalam menyatakan cinta dan kasih sayang kepada seorang gadis yang kelak akan menjadi istri yang dicintai terlepas dari kepahitan yang melingkari hati yang risau ini. Cintaku bukanlah sehelai benang yang tidak dirajut oleh hari-hari dan malam-malam yang menyelingi jarak yang memisahkan kita tetapi cintaku lahir dari hati yang tulus, yang tidak dipagari oleh mendungnya hari dan larutnya malam.
Talenta Carlita untuk membaca dan menulis sekaligus mengungkapkan perasaan yang selalu digulatinya menjadi daya tarik yang tak pernah aku lupakan. Kata-katanya yang lembut ketika bersanding dengan kata-kataku yang puitis memadukan suka dan duka kami, senyumnya yang manis dan lirikkan matanya menggelorakan lautan jiwaku sehingga kehidupan kami bagaikan Romie dan Julie yang terpatri atas nama cinta, Maxi dan Carlita. Romantisme inilah menyadarkan aku untuk menggoreskan satu puisi :
Renunganku menjelang pulang dari rumah Carlita tentang kisah cinta kami,
Carlita & Maxi
jika kami saling cinta.....
kami tidak hadir karena permintaan..
namun hadir karena kesadaran...
jika kami saling cinta.....
kami tidak hadir dengan kekayaan, uang, dan
kebendaan...
namun kami hadir karena pengorbanan dan
kesetiaan..
jika kami saling cinta.....
Kami tidak mendengar...
namun senantiasa bergetar....
jika kami saling cinta.....
Kami tidak buta..
namun senantiasa melihat dan merasa..
jika kami saling cinta.....
kami tidak saling menyiksa..
namun senantiasa menguji..
jika kami saling cinta.....
Kami tidak memaksa..
namun senantiasa berusaha..
jika kami saling cinta.....
Kami tidak cantik dan tampan
namun senantiasa menarik..
jika kami saling cinta.....
Kami tidak datang dengan kata-kata..
namun senantiasa menghampiri dengan
hati..
jika kami saling cinta.....
Kami tidak terucap dengan kata..
namun senantiasa hadir dengan sinar
mata..
jika kami saling cinta.....
Kami tidak hanya berjanji..
namun senantiasa mencoba
menenangi..
jika kami saling cinta.....
Kami mungkin tidak suci..
namun senantiasa tulus..
Ketulusan membuat kami hendak bersatu walaupun kini yang tersisa hanyalah sebuah kisah cinta yang tak pernah tuntas, kisah kasih yang hanya dirasakan oleh hati dan berenang di luasnya samudra imajinasi. Cinta butuh segalanya…Cintaku pada Carlita dan cinta Carlita pada diriku bukan atas dasar keindahan tubuh yang molek dan tampan tetapi karena ketulusan hati untuk menaru rasa percaya pada indahnya cinta untuk diarungi di luasnya dunia.
Aku mencintai Carlita, karena aku ingin dicintai olehnya
Aku setia pada Carlita, karena aku ingin mendapatkan kesetiannya
......
Egois memang menjadi alasan. Air mata Carlita yang berderai di Tangerang kini benar menjadi jawaban. Tangisan Carlita di Tangerang, Karawaci, seolah-olah dia sudah meramalkan apa yang akan terjadi. Keraguan atas ketidakrelaan Carlita untuk berpisah jauh dari diriku ternyata benar adanya. Sepasang kekasih yang telah menaru harap untuk mengikat janji perkawinan harus kandas karena tidak saling mengerti. Aku tenggelam dalam egoku dan Carlita juga demikian. Kami berdua memainkan peran pada pentas yang sama yang bernama egois. Kunjunganku ke rumah Carlita dan sekaligus bertemu Carlita menjadi akhir dari seluruh rangkaian drama kedekatan antara sepasang kekasih yang cintanya terkoyak oleh ganasnya gemuruh gelombang lautan egois. Carlita menangis setelah kukatakan “mungkin pertemuan kita di sini, di rumah ini adalah pertemuan yang terakhir di antar kita”. Carlita menangis, air matanya kuusap dan aku merasakan cinta Carlita tetap seindah yang dulu, Carlita yang aku kenal. Yang lebih aneh lagi hatiku ciut dan tak sudi untuk berpisah. Aku sungguh menyelami hati Carlita dan ingin kurangkul memerangi kalut tetapi apa daya kata-kata baik SMS menggunakan bahasa Jawa Kromo (SMS bahasa Jawa Kromo dibantu oleh seorang teman, sahabat sekaligus rekan belajar yang aku kagumi atas kecantikan, keramahan sikap, dan kelembutan jiwanya maupun kecerdasannya yang tidak aku sangkal juga menaru cinta padanya tapi dibatasi oleh perbedaan dogmatis yang tak bisa dielak. Mungkin kalau tidak ada perbedaan aku sudah memilih untuk menggantikan Carlita walaupun pilihan ini dengan berat hati) maupun paparanku secara langsung di hadapan kedua orangtuanya sudah terlanjur aku katakan.
Carlita biarkan kita berjalan dengan apa adanya. Aku tidak mempunyai rencana apa-apa untuk mencari pengganti dirimu dan jika kita saling jodoh masih ada waktu untuk kembali dan merubah diri. SMS yang engkau kirimkan buatku, aku tidak membalasnya bukan karena aku telah berpaling dari dirimu tetapi karena keterbatasan yang kualamilah yang menjadi penyebabnya. Dan itu semua kau telah mengetahui…kini bayang-bayangmu mengejarku, bersembunyi di mana pun selalu engkau temukan dan aku merasa leti dan ingin sendiri…Carlita engkau tetap seperti yang dulu…
Walau bentangan jarak memisahkan kita, tetapi tetap saja kita akan sampai di tempat yang sama. Di mana hati ini merasa sepi, takut dan bertanya-tanya. Apakah hidup ini suatu karunia ataukah ujian ?. Kita kerap mengenang bila melewati jalan berliku. Sebiru apa langit dan laut pernah berwarna. Sekelam apa malam pernah menumpahkan resah kepada kita. Belumlah tentu kita akan menemukan tanda tanda, untuk mengenali diri sendiri yang syarat dengan egoisme, mengetahui misteri apa dibalik arti hidup ini. Hidup bukan hanya sebuah kampung, Pakem atau Ndito, yang dapat kita tinggalkan lalu kita pulang lagi. Kadang hidup ini sebuah penantian tetapi bukan seperti di terminal atau di halte Trans Jogja, di mana bus hanya menurunkan wajah-wajah asing. Di tempat ini, di sini, keramaian datang hanya sekejap, air matapun juga datang semusim sesekali. Hujan yang turun juga bukanlah selalu berkat. Kadang menyajikan cuaca buruk, demam, lalu kita tertidur. Dan di saat bangun pagi, kita toh masih merasa kehilangan.... kau kehilangan aku dan aku kehilangan kau…tetapi Tuhan telah menyatukan jiwa kita untuk bersatu. Percayalah…
Maknna warna huruf :
Ungu warna kebanggaan Carlita
Hijau warna yang dapat aku banggakan
Merah karena akhir dari sebuah rangkaian
Biru kupersembahkan bagi Citra karibku yang baik hati dan cantik, ayu, dihiasi senyum yang lepas dari bibirnya yang mungil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar