Kamis, 03 Februari 2011

Ayah


DI MANAKAH AYAH?

Derai gerimis mengguyur tanpa henti. Di jalanan anak-anak berwajah ceria bermain sambil menyebut ayah seperti yang setahun yang lalu sering aku sebutkan. Mereka menampakkan wajah polos dan lugu, aku (sembilan tahun) bersama ibu dari balik bus antar kota dalam pronvinsi mengamati keceriaan mereka satu demi satu. Hatiku ciut, galau, dan hancur. Dalam perjalananku kali ini terkenang nama ayah yang begitu tulus membagi cintanya kepada kami buah hatinya. Aku dan abangku, Veri. Aku Ingat bang Veri, aku juga ingat ibu yang duduk di sebelahku tetapi setelah ingat ayah deraian air mataku mengalir tanpa henti. Aku seolah tidak memiliki harapan selain menghadirkan kembali sosok ayah dalam hidupku. Aku menangis. Dalam hatiku aku merontah-rontah, aku beberkan segala keluhku pada Dia sang Khalik:”Ya Tuhan mengapa begitu cepat Engkau membuka pintu kerajaanMu buat ayahku untuk masuk meninggalkan kami dalam kepiluan, kesendirian dan apa lagi aku yang paling bungsu, yang kata maafnya pun belum aku mengerti.
Ayahku adalah sosok yang aku banggakan. Di saat suka aku pergi bermain dan bersenda gurau dan ayah setia mendampingi diriku, putri bungsunya dan ketika aku mengalami rasa lelah aku datang dan memeluk ayah dan ayah dengan penuh kasih sayang merangkulku sambil berbisik dengan suara lembut,”Anakku sayang… janganlah bermain jauh-jauh dari pantauan ayah, sebab ayah takut kehilangan dirimu, putri bungsu yang paling ayah cintai. Sekarang banyak orang tidak dikenal datang sengaja bermain bersamamu dan memberi seonggok permen lalu mengajakmu pergi meninggalkan kami orangtua yang selalu mengasihimu Ayah tidak rela apabila terjadi demikian. Ayah sangat menyayangimu anakku”.
Sepanjang perjalanan kata-kata ayah terlintas dibenakku tanpa henti. Kata yang menyejukkan hati, pikiran dan menghilangkan kepenatan dalam hidup kami, aku dan bang Veri. Terlebih aku, kepergian ayah adalah akhir dari segalanya dan yang tersisa hanya genangan air mata yang terus mengguyur entah sampai kapan baru mengering. Aku tidak berdaya. Aku belum siap kehilangan ayahku. Kuk yang aku pikul kian semakin berat, langkah kakiku tertatih-tatih dan seolah-olah pupuslah sudah harapanku tanpa bisikkan ayah yang sedang merangkulku. Ayah mengapa begitu teganya engkau pergi meninggalkan putri bungsumu yang sedang beranjak dewasa. Yang sedang mencari eksistensi dan jati diri menjadi seorang wanita seperti ibu yang selama seperempat abad ayah hidup bersamanya, merawat dan menjaga kami dari terpaan cobaan.
Aku sadari Tuhan mencintai ayah sehingga Ia lebih awal membukakan pintunya untuk ayahku. Kini, ayah, engkau telah berada di sana. Apakah engkau bahagia di sana? Apakah engkau, ayah, sedang mengamati kami dari kajauhan di mana putra dan putrimu sedang berziarah mengarungi lautan suka duka,melintasi tapal batas untung malang, manis pahit hidup ini? Ataukah engkau, ayah, merasa sedih mengamati putri bungsumu yang bernasib malang ini merengek dan menyebut namamu karena merindukan kehadiranmu secara fisik sebagai gambaran kebanggaan kami dalam mengarungi hidup dalam keluarga yang utuh sebagai layaknya keluarga yang berada di sekitar lingkungan rumah kita? Putrimu di sini ayah,baru kembali dari tempat yang dulu ayah dan ibu bertemu dan mengikat tali kasih, gereja tua, dan putrimu langsung bermain di halaman rumah kita. Ketika putrimu melongokkan kepala ke rumah sebelah ada sosok seorang bapak sedang menyirami bunga, putrimu ingat ayah dan lari masuk kamar, memeluk ibu seerat-eratnya dan berteriak ayah…ayah…ayah…kapan ayah merangkulku lagi? Kapan ayah mengajakku pergi ke kolam renang dan mengajari aku berenang, kapan ayah mengajakku jalan-jalan walaupun hanya sesaat. Aku telah kehilanganmu ayah. Aku kehilangan kasih sayangmu dan hidupku seperti burung yang sayapnya telah patah, tak bisa terbang kecuali duduk berdiam diri di sudut kamar yang sempit ini.
Ayah, di sini ibu tetap bersama kami. Ibu juga sering masuk kamar dan duduk sendiri di tempat yang dulu sering ayah duduk menyandarkan diri ketika lelah mencari nafkah menghidupi kami. Kadang-kadang ibu mengunci kamar dari dalam, apakah ibu berdoa atau ibu sedang menangis menyaksikan kami yang telah menjadi yatim. Kemarin baru putrimu ketahui bahwa selama ini ibu sering mengunci kamar karena ia menangiskan ayah dan hidup kami ke depan. Matanya sembab ayah, ibu sepertinya tidak mau menangis di hadapan aku dan bang Veri, mungkin ibu menyadari bahwa mental kami belum siap melihat ibu dalam kekalutan jiwa seperti ini. Setelah ibu keluar dari kamar, putrimu selalu bertanya kepada ibu,…ibu…ibu sedang apa di dalam kamar tadi? Kok ibu biarkan putri ibu bermain sendiri di ruangan makan ini sih…! Anakku, ibu tidak apa-apa nak, ibu hanya membereskan kamar tidur yang berantakkan karena banyak mainan kamu ada di sana. Tapi ibu… ibu matanya sembab, apakah ibu menangis? Tidak kok, anakku, ibu berusaha menyembunyikan rasa sedihnya karena ibu takut pertumbuhan kami terganggu, ibu mencoba tegar untuk menerimanya walaupun terasa sangat pahit mengurusi anak-anaknya sendiri seorang diri. Kemudian ayah, ibu memelukku seperti yang dulu ayah memelukku di taman bunga di depan rumah kita. Pelukkan ibu mengingatkan aku akan ayah, kapan ya ayah pelukkan itu terulang lagi biar putrimu bertumbuh dalam kepenuhan kasih sayang seperti Rita anak tetangga sebelah rumah kita?...

(imajinasiku tentang ayah karena aku juga kelak akan menjadi ayah, aku harus mulai berpikir untuk mencintai istri dan anak-anakku, anak adalah hadiah terindah yang Tuhan titipkan kepada setiap orangtua dan kelak juga akan Ia titipkan padaku)



Karibku


CITRA OH CITRA IJINKAN AKU UNTUK MENGAGUMI KECANTIKANMU

Di penghujung Januari, akhirnya kita lewatkan ujian akhir smester dengan penuh antusias. Kuk yang kita pikul pun mulai berkurang. Aku sendiri tidak begitu kuat memikul kuk itu sehingga sering kali aku selalu mengajak dirimu untuk bersama menenggelamkan diri untuk belajar berbagai disiplin ilmu khususnya ilmu akuntansi.

Kini, kita telah memasuki masa jedah belajar walau cuma sesaat yang dapat kita nikmati. Di sini aku ingin mengajakmu pergi mendaki gunung, melewati perbukitan dan menuruni lembah. Aku sadari memang hal ini adalah keniscayaan dan kemustahilan untuk mengikutsertakan seorang gadis cantik, yang senyumnya selalu menarik rasa kagum dan lirik bola matanya membiuskan jiwa semua pemuda termasuk diriku namun aku harus mencoba sebab gadis yang cantik seperti dirimu sering kali memiliki segudang hobi yang di dalamnya termasuk mendaki gunung, menuruni lembah dan melintasi perbukitan. Aku ingin kita bersama menikmati hembusan semilir angin, mendengarkan lolongan burung dan bisikkan-bisikkan gerai gerimis.

Di perbukitan jalannya berbelok-belok, kita pun asyik bercanda sambil berceloteh tentang nyanyian rumput biru, hijaunya daun dan indahnya panorama. Ketika kita lelah, kita mencari pokok pinus yang teduh, kita duduk di bawahnya sebelah menyebelah dalam diam karena bahasa bukanlah sarana satu-satunya sebagai alat pemersatu tetapi kekuatan perasaanlah yang menjadi inti semua perjalanan. Tatapan mata kita jauh melewati hamparan alam, menembus ranting-ranting pinus tetapi tatapan itu mendekatkan perasaan kita untuk bersatu yakni rohmu adalah rohku, jiwamu adalah jiwaku sehingga kau di dalam aku dan aku di dalam kau dalam ruang hati yang tulus ini.

Keniscayaan!!! Kata inilah yang mencoba aku lukiskan seindah bentangan alam, secantik gadis manis seperti gambaran dirimu yang terbingkai rapi dalam nurani hati ini. Keniscayaan karena kau adalah temanku, kau adalah sahabatku tetapi mengapa dalam persahabatan dan pertemanan kita timbul gejolak perasaan gelora hembusan angin yang sangat kuat hingga menjadi badai yang menimbulkan perasaan untuk saling memiliki?

Citra, aku harap kau tidak tersinggung dengan nyanyian jiwaku ini. Aku tidak mungkin memikulnya ke mana pun aku pergi untuk menaru harap pada ketulusan sifatmu, kejujuran sikapmu, kelembutan kata-katamu, keindahan tubuhmu, kecantikan wajahmu, tersibaknya jilbabmu hingga menampakkan seuntai rambutmu yang terurai panjang sehingga engkau nampak cantik seperti pelita malam yang menerangi kegelapan jiwa para pemuda yang ingin memiliki dirimu dengan sepenuh hati. Aku juga tidak mau menyembunyikan diriku di balik perasaan rasa rinduku pada dirimu. Aku harus mengatakannya walaupun berat rasanya karena kau adalah rekanku, kau adalah temanku dan kau adalah sahabatku. Memang ini adalah sebuah keniscayaan ku harap kau tetap berpikir positif dan tidak membatasi jalinan persahabatan kita yang sejak awal telah terbentuk, perasaan yang aku paparkan ini karena memang aku ingin persahabatan kita makin erat dan bukan sebaliknya menciptakan jarak di antara kita dan bahkan memutuskan tali ikatan persahabatan kita. Setiap hati memang mendamba hati lain, hati yang bisa diajak untuk bersama meneguk manisnya madu dan mencicipi pahitnya empedu kehidupan. Kau tetap sahabatku, temanku, dan rekanku.

Citra, kalau memang engkau merasa tidak ada keberatan untuk menghadirkan aku di dalam ruang hatimu tentu aku merasa terima kasih tetapi kalau engkau merasa terusik dan keberatan biarkanlah kata-kataku ini mengalir bersama banjir dan riuh bersama gemuruh dan janganlah menjadi penghalang tentang persahabatan kita. Mari kita ciptakan riakkan-riakkan gelombang yang mengasyikkan jaminan lestari hubungan persahabatan kita. Ini Aku tuliskan satu puisi Cinta untukmu dan puisi yang sama aku gambarkan hubungan cintaku dengan Carlita Dwi Handayani :
Renungan Menjelang Pulang

Cinta sesungguhnya merupakan:
sebuah keputusan,
dan bukan cuma perasaan..!

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak mendengar...
namun senantiasa bergetar....

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak buta..
namun senantiasa melihat dan merasa..

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak menyiksa..
namun senantiasa menguji..

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak memaksa..
namun senantiasa berusaha..

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak cantik..
namun senantiasa menarik..

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak datang dengan kata-kata..
namun senantiasa menghampiri dengan
hati..

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak terucap dengan kata..
namun senantiasa hadir dengan sinar
mata..

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak hanya berjanji..
namun senantiasa mencoba
menenangi..

jika ia sebuah cinta.....
ia mungkin tidak suci..
namun senantiasa tulus..
jika ia sebuah cinta.....
ia tidak hadir karena permintaan..
namun hadir karena kesadaran...

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak hadir dengan kekayaan, uang, dan
kebendaan...
namun hadir karena pengorbanan dan
kesetiaan..

Aku mencintai kekasihku, seperti aku ingin dicintai olehnya
Aku setia pada kekasihku, karena aku ingin mendapatkan kesetiannya
......

IMPIANKU
Ketika kasih itu menjelma
Getarkan relung hatiku
Aku mencoba menatap wajahmu
Ku pandangi indahnya senyummu kala itu

Perlahan semilir angin berhembus
Hingga terdengar gemerincing dari balik daun pinus
Bisikanku setulus hati…sayang…

Akan kah aku . . . . . .
Terbang terbuai mimpi bersamamu?

Kasih dan cintaku pun
Terurai perlahan
Terhanyut dalam arti kepastian
Dan memaksaku memilih
Impian ataukah harapan

Impian tuk memilikimu
Bersama mengarungi samudra hidup

Harapan tuk kita bersatu…
Sehidup semati hingga ajal yang dapat memisahkan cinta kita.
(baca kisah:Di manakah Ayah?)


(Imajinasiku pada kecantikkan seorang karibku, tak kupungkiri dalam diam hatiku ini bergetar untuk memilikinya)











KISAHKU BERSAMA CARLITA DWI HANDAYANI

Ssss,…jangan gadu! Terdengar lembut suara dari balik tirai jendela. Aku hanya diam dan duduk sambil memikirkan lembut suaranya yang barusan ku dengar. Rasa penasaran bergelayut di dalam jiwa dan ingin segera mencari tahu suara siapakah gerangan. Ternyata suara itu adalah suara Carlita Dwi Handayani. Aku seperti tidak memahami maksud apa suara larangan itu terlontar dari bibir seorang perempuan yang aku cintai. Carlita seorang perempuan muda yang memiliki segudang cita-cita dan cinta. Kata-katanya yang lembut tetapi tegas riuh mengalir bagai gerimis, itulah yang menjadi ciri khasnya. Ia melarang seorang bocah kecil yang berteriak-teriak sambil bermain di depan serambi rumahnya. Carlita sendiri sedang membaca novel karya Kahlil Gibran “Sayap-sayap Patah” atau yang biasa ia sebut “Broken Wings” dan novel itulah yang menjadi bacaan kegemarannya. Ia membaca sambil meresapi kata-katanya yang puitis dan sekali-sekali ia menerawangkan pandangan matanya ke arah yang jauh seolah-olah ia sedang mengimpikan aku kekasihnya seperti yang diceritakan dalam isi novel itu.
Carlita memang seorang yang memiliki segalanya. Kecantikannya mengantarkan dirinya menjadi seorang perempuan yang didambakan oleh setiap pemuda termasuk aku. Akulah yang mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya. Awalnya aku seperti tidak percaya ungkapan perasaan cinta itu diterima oleh Carlita. Dalam hatiku aku berpikir apakah gadis secantik ini bisa menerima cinta yang dilontarkan oleh laki-laki kribo asal Flores yang penuh dengan teka-teki ini? Namun pikiranku ternyata keliru. Carlita bukanlah tipe perempuan yang suka memilih milih, ia dengan rendah hati memahami arti dibalik pengorbananku untuk menyatakan cintaku kepadanya.
Carlita menunjukkan eksistensi dirinya sebagai seorang perempuan berwajah oriental; kelembutan hati, dan keramahan sikapnyalah yang mau menerima aku dengan apa adanya. Carlita memang seorang yang penuh fenomenal. Keputusannya untuk kuliah sambil bekerja apa lagi bolak balik Tangerang-Lampung yang hampir setiap minggu terus ia jalani. Ia begitu energik dan anggun. Ia juga sangat sibuk dan setiap hari nyaris tidak mempunyai waktu untuk beristirahat. Ia terus berjuang menerjang gelombang kehidupan. Aku sangat bangga dengan sikap dan daya juangnya. Aku bekerja di Tangerang sambil kuliah ada rasa capai dan lelah karena setiap waktu menikmati suguhan kemacetan dan akhirnya aku harus berhenti bekerja dan kuliah dan memilih kembali ke Jogja kota seribu satu kenangan antar aku dan Carlita. Rasa lelah dan capai bukan karena kuliah dan bekerja tetapi suguhan kemacetanlah yang membuatku merasa jenu tinggal di Tangerang. Aku pun berpamitan dengan Carlita untuk kembali ke Jogja kampung halaman Carlita. Tapi anehnya Carlita justru tidak menjawab sepatah kata pun ketika ku sampaikan niatku. Ia diam seribu bahasa. Walaupun aku menyadari bahwa kata-kata bukanlah sarana satu-satunya sebagai alat komunikasi tetapi tersirat di wajah Carlita ungkapan kekecewaannya kepadaku atas keputusan yang sudah bulat ku pikirkan ini. Carlita tetaplah Carlita. Ia diam dan sambil menundukkan wajahnya dan air matanya pun berderai sepertinya ia tidak rela untuk melepaskan aku berjauhan dengan dirinya. Alasan yang aku kemukakan seperti terbentur di jalanan yang penuh dengan bebatuan, aku pun merasa iba dan ku yakinkan Carlita dengan bisikkan suara penuh makna ”sayang… aku pergi untuk kembali”. Di sana aku akan selalu menemui ayah dan ibumu seminggu sekali sebagai ikrar jaminan lestari hubungan cinta kita. Lalu kuambilkan sapu tanganku kuusapi wajahnya yang berlinangan air mata. Kami sama-sama diam. Yang satu berpikir takut kehilangan seorang yang dicintai karena hanya itulah satu-satunya sandaran hidup yang selalu mengisi sepi dan pemberi semangat dan yang lain justru berpikir soal ambisi meraih cita, mengejar angan, dan menggapai impian. Dua manusia yang ada dalam diam. Dua manusia, Carlita dan Maxi, yang saling mencintai ingin segera bersatu tetapi cita-cita belum tuntas untuk diraih. Aku pun tepatnya tanggal enam September 2010, kembali mendarat di Jogja. Dan untuk memenuhi janjiku pada Carlita setiap minggu aku berkunjung ke rumah kedua orangtuanya di Pakem. Aku memang seorang laki-laki yang penuh percaya diri. Aku datang ke rumah orangtuanya sebagai ungkapan rasa tanggungjawabku kepada Carlita dan sekaligus memberikan keyakinan pada Carlita bahwa kita memang saling cinta tetapi semuanya kita kembalikan pada Dia sang Khalik. Kita boleh saling mencintai tetapi Dialah yang pada akhirnya menentukan.
Seorang laki-laki sepertiku tak akan mengkianati suara hatinya sendiri dalam menyatakan cinta dan kasih sayang kepada seorang gadis yang kelak akan menjadi istri yang dicintai terlepas dari kepahitan yang melingkari hati yang risau ini. Cintaku bukanlah sehelai benang yang tidak dirajut oleh hari-hari dan malam-malam yang menyelingi jarak yang memisahkan kita tetapi cintaku lahir dari hati yang tulus, yang tidak dipagari oleh mendungnya hari dan larutnya malam.
Talenta Carlita untuk membaca dan menulis sekaligus mengungkapkan perasaan yang selalu digulatinya menjadi daya tarik yang tak pernah aku lupakan. Kata-katanya yang lembut ketika bersanding dengan kata-kataku yang puitis memadukan suka dan duka kami, senyumnya yang manis dan lirikkan matanya menggelorakan lautan jiwaku sehingga kehidupan kami bagaikan Romie dan Julie yang terpatri atas nama cinta, Maxi dan Carlita. Romantisme inilah menyadarkan aku untuk menggoreskan satu puisi :
Renunganku menjelang pulang dari rumah Carlita tentang kisah cinta kami,
Carlita & Maxi
jika kami saling cinta.....
kami tidak hadir karena permintaan..
namun hadir karena kesadaran...

jika kami saling cinta.....
kami tidak hadir dengan kekayaan, uang, dan
kebendaan...
namun kami hadir karena pengorbanan dan
kesetiaan..

jika kami saling cinta.....
Kami tidak mendengar...
namun senantiasa bergetar....

jika kami saling cinta.....
Kami tidak buta..
namun senantiasa melihat dan merasa..

jika kami saling cinta.....
kami tidak saling menyiksa..
namun senantiasa menguji..

jika kami saling cinta.....
Kami tidak memaksa..
namun senantiasa berusaha..

jika kami saling cinta.....
Kami tidak cantik dan tampan
namun senantiasa menarik..

jika kami saling cinta.....
Kami tidak datang dengan kata-kata..
namun senantiasa menghampiri dengan
hati..

jika kami saling cinta.....
Kami tidak terucap dengan kata..
namun senantiasa hadir dengan sinar
mata..

jika kami saling cinta.....
Kami tidak hanya berjanji..
namun senantiasa mencoba
menenangi..

jika kami saling cinta.....
Kami mungkin tidak suci..
namun senantiasa tulus..

Ketulusan membuat kami hendak bersatu walaupun kini yang tersisa hanyalah sebuah kisah cinta yang tak pernah tuntas, kisah kasih yang hanya dirasakan oleh hati dan berenang di luasnya samudra imajinasi. Cinta butuh segalanya…Cintaku pada Carlita dan cinta Carlita pada diriku bukan atas dasar keindahan tubuh yang molek dan tampan tetapi karena ketulusan hati untuk menaru rasa percaya pada indahnya cinta untuk diarungi di luasnya dunia.
Aku mencintai Carlita, karena aku ingin dicintai olehnya
Aku setia pada Carlita, karena aku ingin mendapatkan kesetiannya
......
Egois memang menjadi alasan. Air mata Carlita yang berderai di Tangerang kini benar menjadi jawaban. Tangisan Carlita di Tangerang, Karawaci, seolah-olah dia sudah meramalkan apa yang akan terjadi. Keraguan atas ketidakrelaan Carlita untuk berpisah jauh dari diriku ternyata benar adanya. Sepasang kekasih yang telah menaru harap untuk mengikat janji perkawinan harus kandas karena tidak saling mengerti. Aku tenggelam dalam egoku dan Carlita juga demikian. Kami berdua memainkan peran pada pentas yang sama yang bernama egois. Kunjunganku ke rumah Carlita dan sekaligus bertemu Carlita menjadi akhir dari seluruh rangkaian drama kedekatan antara sepasang kekasih yang cintanya terkoyak oleh ganasnya gemuruh gelombang lautan egois. Carlita menangis setelah kukatakan “mungkin pertemuan kita di sini, di rumah ini adalah pertemuan yang terakhir di antar kita”. Carlita menangis, air matanya kuusap dan aku merasakan cinta Carlita tetap seindah yang dulu, Carlita yang aku kenal. Yang lebih aneh lagi hatiku ciut dan tak sudi untuk berpisah. Aku sungguh menyelami hati Carlita dan ingin kurangkul memerangi kalut tetapi apa daya kata-kata baik SMS menggunakan bahasa Jawa Kromo (SMS bahasa Jawa Kromo dibantu oleh seorang teman, sahabat sekaligus rekan belajar yang aku kagumi atas kecantikan, keramahan sikap, dan kelembutan jiwanya maupun kecerdasannya yang tidak aku sangkal juga menaru cinta padanya tapi dibatasi oleh perbedaan dogmatis yang tak bisa dielak. Mungkin kalau tidak ada perbedaan aku sudah memilih untuk menggantikan Carlita walaupun pilihan ini dengan berat hati) maupun paparanku secara langsung di hadapan kedua orangtuanya sudah terlanjur aku katakan.
Carlita biarkan kita berjalan dengan apa adanya. Aku tidak mempunyai rencana apa-apa untuk mencari pengganti dirimu dan jika kita saling jodoh masih ada waktu untuk kembali dan merubah diri. SMS yang engkau kirimkan buatku, aku tidak membalasnya bukan karena aku telah berpaling dari dirimu tetapi karena keterbatasan yang kualamilah yang menjadi penyebabnya. Dan itu semua kau telah mengetahui…kini bayang-bayangmu mengejarku, bersembunyi di mana pun selalu engkau temukan dan aku merasa leti dan ingin sendiri…Carlita engkau tetap seperti yang dulu…
Walau bentangan jarak memisahkan kita, tetapi tetap saja kita akan sampai di tempat yang sama. Di mana hati ini merasa sepi, takut dan bertanya-tanya. Apakah hidup ini suatu karunia ataukah ujian ?. Kita kerap mengenang bila melewati jalan berliku. Sebiru apa langit dan laut pernah berwarna. Sekelam apa malam pernah menumpahkan resah kepada kita. Belumlah tentu kita akan menemukan tanda tanda, untuk mengenali diri sendiri yang syarat dengan egoisme, mengetahui misteri apa dibalik arti hidup ini. Hidup bukan hanya sebuah kampung, Pakem atau Ndito, yang dapat kita tinggalkan lalu kita pulang lagi. Kadang hidup ini sebuah penantian tetapi bukan seperti di terminal atau di halte Trans Jogja, di mana bus hanya menurunkan wajah-wajah asing. Di tempat ini, di sini, keramaian datang hanya sekejap, air matapun juga datang semusim sesekali. Hujan yang turun juga bukanlah selalu berkat. Kadang menyajikan cuaca buruk, demam, lalu kita tertidur. Dan di saat bangun pagi, kita toh masih merasa kehilangan.... kau kehilangan aku dan aku kehilangan kau…tetapi Tuhan telah menyatukan jiwa kita untuk bersatu. Percayalah…

Maknna warna huruf :
Ungu warna kebanggaan Carlita
Hijau warna yang dapat aku banggakan
Merah karena akhir dari sebuah rangkaian
Biru kupersembahkan bagi Citra karibku yang baik hati dan cantik, ayu, dihiasi senyum yang lepas dari bibirnya yang mungil.