DI MANAKAH AYAH?
Derai gerimis mengguyur tanpa henti. Di jalanan anak-anak berwajah ceria bermain sambil menyebut ayah seperti yang setahun yang lalu sering aku sebutkan. Mereka menampakkan wajah polos dan lugu, aku (sembilan tahun) bersama ibu dari balik bus antar kota dalam pronvinsi mengamati keceriaan mereka satu demi satu. Hatiku ciut, galau, dan hancur. Dalam perjalananku kali ini terkenang nama ayah yang begitu tulus membagi cintanya kepada kami buah hatinya. Aku dan abangku, Veri. Aku Ingat bang Veri, aku juga ingat ibu yang duduk di sebelahku tetapi setelah ingat ayah deraian air mataku mengalir tanpa henti. Aku seolah tidak memiliki harapan selain menghadirkan kembali sosok ayah dalam hidupku. Aku menangis. Dalam hatiku aku merontah-rontah, aku beberkan segala keluhku pada Dia sang Khalik:”Ya Tuhan mengapa begitu cepat Engkau membuka pintu kerajaanMu buat ayahku untuk masuk meninggalkan kami dalam kepiluan, kesendirian dan apa lagi aku yang paling bungsu, yang kata maafnya pun belum aku mengerti.
Ayahku adalah sosok yang aku banggakan. Di saat suka aku pergi bermain dan bersenda gurau dan ayah setia mendampingi diriku, putri bungsunya dan ketika aku mengalami rasa lelah aku datang dan memeluk ayah dan ayah dengan penuh kasih sayang merangkulku sambil berbisik dengan suara lembut,”Anakku sayang… janganlah bermain jauh-jauh dari pantauan ayah, sebab ayah takut kehilangan dirimu, putri bungsu yang paling ayah cintai. Sekarang banyak orang tidak dikenal datang sengaja bermain bersamamu dan memberi seonggok permen lalu mengajakmu pergi meninggalkan kami orangtua yang selalu mengasihimu Ayah tidak rela apabila terjadi demikian. Ayah sangat menyayangimu anakku”.
Sepanjang perjalanan kata-kata ayah terlintas dibenakku tanpa henti. Kata yang menyejukkan hati, pikiran dan menghilangkan kepenatan dalam hidup kami, aku dan bang Veri. Terlebih aku, kepergian ayah adalah akhir dari segalanya dan yang tersisa hanya genangan air mata yang terus mengguyur entah sampai kapan baru mengering. Aku tidak berdaya. Aku belum siap kehilangan ayahku. Kuk yang aku pikul kian semakin berat, langkah kakiku tertatih-tatih dan seolah-olah pupuslah sudah harapanku tanpa bisikkan ayah yang sedang merangkulku. Ayah mengapa begitu teganya engkau pergi meninggalkan putri bungsumu yang sedang beranjak dewasa. Yang sedang mencari eksistensi dan jati diri menjadi seorang wanita seperti ibu yang selama seperempat abad ayah hidup bersamanya, merawat dan menjaga kami dari terpaan cobaan.
Aku sadari Tuhan mencintai ayah sehingga Ia lebih awal membukakan pintunya untuk ayahku. Kini, ayah, engkau telah berada di sana. Apakah engkau bahagia di sana? Apakah engkau, ayah, sedang mengamati kami dari kajauhan di mana putra dan putrimu sedang berziarah mengarungi lautan suka duka,melintasi tapal batas untung malang, manis pahit hidup ini? Ataukah engkau, ayah, merasa sedih mengamati putri bungsumu yang bernasib malang ini merengek dan menyebut namamu karena merindukan kehadiranmu secara fisik sebagai gambaran kebanggaan kami dalam mengarungi hidup dalam keluarga yang utuh sebagai layaknya keluarga yang berada di sekitar lingkungan rumah kita? Putrimu di sini ayah,baru kembali dari tempat yang dulu ayah dan ibu bertemu dan mengikat tali kasih, gereja tua, dan putrimu langsung bermain di halaman rumah kita. Ketika putrimu melongokkan kepala ke rumah sebelah ada sosok seorang bapak sedang menyirami bunga, putrimu ingat ayah dan lari masuk kamar, memeluk ibu seerat-eratnya dan berteriak ayah…ayah…ayah…kapan ayah merangkulku lagi? Kapan ayah mengajakku pergi ke kolam renang dan mengajari aku berenang, kapan ayah mengajakku jalan-jalan walaupun hanya sesaat. Aku telah kehilanganmu ayah. Aku kehilangan kasih sayangmu dan hidupku seperti burung yang sayapnya telah patah, tak bisa terbang kecuali duduk berdiam diri di sudut kamar yang sempit ini.
Ayah, di sini ibu tetap bersama kami. Ibu juga sering masuk kamar dan duduk sendiri di tempat yang dulu sering ayah duduk menyandarkan diri ketika lelah mencari nafkah menghidupi kami. Kadang-kadang ibu mengunci kamar dari dalam, apakah ibu berdoa atau ibu sedang menangis menyaksikan kami yang telah menjadi yatim. Kemarin baru putrimu ketahui bahwa selama ini ibu sering mengunci kamar karena ia menangiskan ayah dan hidup kami ke depan. Matanya sembab ayah, ibu sepertinya tidak mau menangis di hadapan aku dan bang Veri, mungkin ibu menyadari bahwa mental kami belum siap melihat ibu dalam kekalutan jiwa seperti ini. Setelah ibu keluar dari kamar, putrimu selalu bertanya kepada ibu,…ibu…ibu sedang apa di dalam kamar tadi? Kok ibu biarkan putri ibu bermain sendiri di ruangan makan ini sih…! Anakku, ibu tidak apa-apa nak, ibu hanya membereskan kamar tidur yang berantakkan karena banyak mainan kamu ada di sana. Tapi ibu… ibu matanya sembab, apakah ibu menangis? Tidak kok, anakku, ibu berusaha menyembunyikan rasa sedihnya karena ibu takut pertumbuhan kami terganggu, ibu mencoba tegar untuk menerimanya walaupun terasa sangat pahit mengurusi anak-anaknya sendiri seorang diri. Kemudian ayah, ibu memelukku seperti yang dulu ayah memelukku di taman bunga di depan rumah kita. Pelukkan ibu mengingatkan aku akan ayah, kapan ya ayah pelukkan itu terulang lagi biar putrimu bertumbuh dalam kepenuhan kasih sayang seperti Rita anak tetangga sebelah rumah kita?...
(imajinasiku tentang ayah karena aku juga kelak akan menjadi ayah, aku harus mulai berpikir untuk mencintai istri dan anak-anakku, anak adalah hadiah terindah yang Tuhan titipkan kepada setiap orangtua dan kelak juga akan Ia titipkan padaku)